FANA’ DAN BAQA’ MENURUT PERSPEKTIF Al-ALUSI
FANA’ DAN BAQA’ MENURUT PERSPEKTIF Al-ALUSI : Telaah Penafsiran Al-
Alusi Dalam Tafsir Ruh Al-Ma’ani
Oleh:
Muhammad Zaki1 dan H. Zulyadain2 faqihelzaky19@gmail.com,
Abstract: In Sufism discourse, the concepts of fana' and baqa' become an important foundation for Islamic commentators to base their views of interpretation when encountering verses related to fana' and baqa'. So this paper tries to provide an explanation of the interpretation of isyari carried out by al-Alusi on verses related to the concepts of mortal 'and baqa' from interpretation that leads to the interpretation of isyari. The research method that the author uses in this journal article is qualitative descriptive research in the nature of library research taken from books that are in accordance with the review of this journal article and other literature as the main object in this journal. In Tafsir al-Alusi's explanation of the concepts of mortal and baqa' which seems to reflect the tendency to uncover the inner meaning in the Qur'an, , not only reveals the meaning of the verse contained in but invites to use intuition to uncover the meaning behind the verse.
Keywords: Fana', Baqa', Al-Alusi
Abstrak: Dalam wacana tasawuf, konsep fana’ dan baqa’ menjadi landasan penting bagi para ahli tafsir yang beraliran isyari untuk melandasi pandangan tafsirnya ketika bertemu dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan fana’ dan baqa’. Sehingga makalah ini mencoba memberikan uraian tentang penafsiran isyari yang dilakukan oleh al-Alusi pada ayat-ayat yang berkaitan dengan konsep fana’ dan baqa’ dari penafsiran yang mengarah kepada tafsir isyari. Metode penelitian yang penulis pakai dalam artikel jurnal ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang bersifat studi pustaka (library research) yang diambil dari buku- buku yang sesuai dengan kajian artikel jurnal ini dan literatur-literatur lainnya sebagai objek yang utama dalam jurnal ini. Dalam penjelasan Tafsir al-Alusi tentang konsep fana’ dan baqa’ yang terlihat mencerminkan kecendrungan upaya menyingkap makna batin dalam al- Qur’an, tidak hanya mengugkap makna zahir ayat yang terkandung didalam tetapi mengajak untuk menggunakan intuisi untuk menyingkap makna dibalik ayat.
Kata kunci: Fana’, Baqa’, Al-Alusi
A. PENDAHULUAN
Ilmu tafsir sebagai wadah ilmu pengetahuan dan merupakan sarana terbaik untuk menyampaikan hasil pemikiran dan pendapat yang jernih. Akan tetapi dorongan untuk menafsirkan Al-Qur’antidak terilhami kecuali kepada orang yang memiliki kecerdasan
1 Muhammad Zaki adalah salah satu mahasiswa aktif di Pascasarjana Uneversitas Islam Negeri Mataram.
2 H. Zulyadain adalah dosen tetap UIN Mataram Fakultas Usuluddin dan Studi Agama di Uneversitas Islam Negeri Mataram.
tingkat tinggi, yaitu orang-orang yang yang telah menguasai ilmu-ilmu zahir, pikirannya tertuang dalam makna-makna Al-Qur’anyang mempesona. Mereka adalah orang-orang yang telah mempelajari secara mendalam ilmu-ilmu zahir, seperti penguasaan bahasa arab, ilmu nahwu, sharaf, balagah, fiqih, hadis dan sejarah, serta mandalam ilmu tasawuf dan belajar kepada orang-orang yang memiliki kemampuan mengolah rasa jiwanya.3
Dalam diskurus tafsir Al-Qur’andikenl berbagai macam corak penafsiran4, salah satunya adalah tafsir dengan corak sufistik. Corak ini mempunyai karaktristik khusus, hal ini tidak terlepas dari epistemology yang dipakai oleh kaum sufi sendiri, yakni epistemologi irfani5. Tafsir sufi berangkat dari asumsi bahwa Al-Qur’an memiliki makna zahir dan batin.
Menurut kalangan sufi, menafsirkan Al-Qur’anberdasarkan analisis kebahasaan saja tidak cukup, dan hal itu dipandang baru memasuki tataran makna (eksoteris) saja, yang oleh para sufi dinilai sebagai tataran badan al-aqidah (tubuh aqidah). Sementara model tafsir sufi menempati posisi ruhnya (esoteris).6 Untuk memperoleh pengetahuan tentang makana batin Al-Qur’an seorang sufi terlebih dahulu harus melakukan latihan ruhani (riadah al-ruhiyah) agar dapat menyingkap isyarat suci sebagai limpahan gaib, atau pengetahuan subhani yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an.7
Adapun yang dimaksud dengan zahir Al-Qur`an adalah lafaz Al-Qur`an yang tersusun dalam bahasa Arab, ini bisa dipahami secara umum oleh yang mengerti bahasa Arab. Sedangkan batinnya adalah maksud yang dikehendaki Allah SWT diluar lafaz dan struktur ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an.8
Imam Al–Alusi menyatakan bahwa apa yang dijelaskan oleh para sufi tentang Al- Qur`an merupakan isyarat yang berhasil diungkapkan oleh para pelaku tasawuf dengan latihan rohani. Bila para sufi mengambil makna batin saja tanpa berpegang pada makna zahir maka mereka bisa dituduh melupakan syari’at.9
3 Ibnu Ajibah, al-Bahr al-Madid Fi Tafsir al-Qur’an al-Majid, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2005),
16.
4 Qurais Sihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat,
(Bandung: Mizan, 2006), 72.
5 Irfan secara terminology adalah al-Ma’rifah. Dalam etimologinya disebut sebagai jalan husus untuk mencapai pengetahuan hakikat tuhan. Secara tioritis, irfan dapat dikatan sebagai upaya manusia untuk bersatu dengan sang hakikat melalui istilah-istilah filosofis seperti syuhud (menyaksikan), isyrak (pancaran ilahiyat), ittihad (bersatu). Azwar Hairul, Mengkaji Tafsir Sufi Karya Ibnu ‘Ajibah, (Tanggerang: Young Progressive Muslim, 2017), 1.
6 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontenporer, (Yogyakarta: Lkis, 2011), 22.
7 Manna’ al-Qhattan, Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, (Mansurat al-Hadits, 1990), 357.
8 Muhammad Husain Al–Dhahabi, al–Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadits, 2007),
265.
9 Al–Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al–Quran al-‘Azim wa al-Sab’i al-Mathani, (Beirut: Darul Kutub al–
Ilmiyah,2001), 8.
Namun lanjut al–Alusi, siapa yang tidak memahami makna isyari jangan mengingkari bahwa al-Qur`an memiliki bagian batin yang dilimpahkan Allah SWT kepada batin hamba- Nya yang dikehendaki.10
B. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang peneliti pakai dalam artikel jurnal ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang bersifat studi pustaka (library research)11 yang menggunkan buku- buku dan literatur-literatur lainnya sebagai objek yang utama, artinya dalam mengumpulkan dan menjelaskan kajian teori yang berkaitan dengan tema yang diangkat diatas. Data dalam artikel jurnal ini dikumpulkan dengan tehnik studi dokumentasi dengan membaca, mengumpulkan, menguraikan, menjelaskan berbagai artikel dan buku hasil penelitian dan kajian yang ditemukan, serta mengkombinasikan literature yang berhubungan dengan tema kajian dalam jurnal ini. Analisis data yang dilakukan melalui kegiatan menelaah dan mengkaji berbagai literature yang berbentuk artikel hasil penelitian terdahulu, serta artikel hasil kajian, menata, membagi menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola dan menemukan apa yang bermakna yang dapat dituangkan didalam karya tulis ilmiyah yang berbentuk jurnal ini.12
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Biografi Al-Alusi dan Tafsirnya
Al-Alusi memiliki nama lengkap Abu Al-Thana’ Shihab Al-Din Al-Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Baghdadi.13 Terdapat nama lengkap lain dari al-Alusi adalah Abu Al-Fadl Sihab Al-Din Al-Sayyid Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi yang tertulis pada muqaddimah tafsirnya. Al-Alusi lahir pada tahun 1217 H bertepatan pada tahun 1802 M di sebuah tempat bernama Karkh, daerah bagian barat kota Baghdat, Irak.
Nama al-Alusi sendiri diambil dari sebuah desa tempatnya lahir yang bernama Alus. Yakni sebuah desa yang terletak di pulau pertengahan sungai Eufrat atara daerah Syam dan Baghdat atau sekarang terleta anatara negara Suriah dan Irak.14 Garis darah Syihab al-Din
10 Al–Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al–Quran al-‘Azim wa al-Sab’i al-Mathani,29.
11Penelitian Kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian terdahulu. Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya (Jakarata : PT Bumi Aksara,2013), hlm 21.
12 Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya (Jakarata : PT Bumi Aksara,2013), hlm 33
13 Muhammad Husain Al–Dhahabi, al–Tafsir wa al-Mufassirun, 352.
14 Muhammad Husain Al–Dhahabi, al–Tafsir wa al-Mufassirun, 353.
terbilang sangat mulia, dari pihak ayah silsilah beliau sampai pada Sayyidina al-Husain, sedangkan dari pihak ibu sampai pada Sayyidina al-Hasan.15
Ayahnya bernama al-Sayyid Abdullah Afandi.Beliau sempat bertemu dengan Imam Abu Hanifah, bahkan beliau pernah mengajar selama empat puluh tahun di Jami‟ Abu Hanifah. Beliau meninggal di Baghdad pada 1246 H/1830 M dalam usia delapan puluh tahun. Ibunya bernama Fatimah, meninggal ketika al-Alusi masih kecil.16
Al-Alusi dilahirkan pada hari Jum‟at 14 Sya‟ban 1217 H/ 1802 M di sebuah daerah Alus Kurkh dekat Baghdad, Irak.17 Al-Alusi menghembuskan nafas terakhir pada hari Jum‟at 25 Dzul Qa’dah tahun 1270 H, dikuburkan bersama keluarganya di pekuburan Syeikh Ma‟ruf al-Kurkhi di Kurkh.18
Al-Alusi adalah seorang ahli tafsir ternama dan ahli hukum Islam, pada mulanya beliau menimba ilmu pengetahuan dari ayahnya dan dari ulama besar lainnya, seperti dari Syeikh Ali al-Suwardi dan Syeikh Khalid al-Naqsyabandi.19
Al-Alusi adalah guru para ulama di Irak, dan salah satu dari tanda-tanda Allah Swt yang agung dan kelangkaan yang ada pada hari ini. Al-Alusi menghimpun banyak ilmu sampai menjadi tanda dari nash yang manqul dan ma’qul, faham dalam masalah furu’ dan ushul, seorang muahddis yang tak tertandingi. Seorang penafsir kitab Allah.20
Semasa hidup, beliau terkenal dengan kepiawaian dalam bidang ilmu pengetahuan sehingga dipercaya memangku jabatan mufti.21 Di samping itu, karena tingkat pengetahuannya, banyak sanjungan yang dinisbatkan pada beliau, baik dari golongan pemikir, sastrawan, maupun penguasa. Diantara sanjungan tersebut adalah Syaikh Ulama al- Iraq, al-Mufarrid fi Jami’ al-Ulum bi al-Zaman al-Zhahir, Sibawaih al-Arabiyyah, Sa’du Zamanih, Khatimah alMufassirin, al-Syihab al-Tsaqib.22
2. Mengenal Tafsir Ruh al-Ma’ani Karya al-Alusi
Sebagai kelanjutan dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, pembahasan berikut ini membahas dan membicarakan seputar tafsir al-Alusi yang meliputi latar belakang
15 Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (UIN: Ciputat Tanggerang, 2011),
71.
16 Aharudin , “Corak Tafsir Ruh Al-Ma‟ani Karya al-Alusi Telaah Atas AyatAyat yang Ditafsirkan
Secara Syarah”, Disertasi, PSQ, 2002, h. 27
17 Saiful Amir Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008),
18 Muhammad Husein adz-Dzahabi, al–Tafsir wa al-Mufassirun, 354.
19 UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, h. 108
20 Muhammad Husain Al–Dhahabi, al–Tafsir wa al-Mufassirun, 250.
21 7Mufti: Sebuah jabatan hukum yang membantu tugas Qadi (hakim) atau beliau sendiri menjabat sebagai Qadi yang berwenang mengambil keputusan dalam hal-hal yang berkenaan dengan permasalahan keagamaan yang disebut fatwa. Lihat Ensiklopedi Islam, h. 276
22 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, 72.
penulisannya, metode, corak, komentar para ulama dan contoh penafsiran al-Alusi tentang konsef fana’ dan baqa’.
a) Latar Belakang Penulisan Tafsir Ruh al-Ma’ani
Sebenarnya sudah sejak lama al-Alusi ingin menuangkan buah pikirannya kedalam sebuah kitab. Sebagaimana dalam mukaddimahnya beliau mengatakan bahwa semenjak kecil beliau mempunyai keinginan untuk mengungkap rahasia Al-Qur`an dan menghirup bau harumnya Al-Qur`an. Beliau suka jarang tidur untuk menghimpun makna-maknanya yang berserakan dan meninggalkan kaumnya demi meraih mutiaranya, meninggalkan aneka permainannya dan hal-hal nganggur pengisi waktu luang pemuas hawa nafsu seperti yang diperbuat teman-temannya.23 Namun karena merasa belum mampu dan kurangnya kesempatan, maka keinginan tersebut sempat tertunda. Hingga pada suatu malam beliau bermimpi pada malam Jum‟at, Rajab 1252 H bahwa Allah Swtmenyuruhnya untuk melipat langit dan memecahkannya sehingga beliau mengangkat salah satu tangannya ke atas dan yang lainnya ke tempat air.24
Kemudian beliau mencari-cari di kitab ta’bir mimpi untuk mimpinya yang aneh itu hingga beliau menemukan bahwa mimpinya itu isyarat untuk mengarang sebuah tafsir.Maka malam ke 16 Sya‟ban 1251 H beliau mulai mengarang dan tepat pada saat beliau berumur 34 tahun.60Pada bagian penutup, beliau mengatakan bahwa beliau menyelesaikan kitab tersebut pada malam selasa, bulan Rabi‟ul akhir pada tahun 1267 H.25
Al-Alusi membutuhkan waktu 15 tahun untuk menggarap Tafsir Ruh al-Ma’aani, yaitu dari tahun 1252-1267 H. Usai menulis karya tafsirnya, al-Alusi belum mempunyai nama yang pantas bagi karyanya. Akhirnya, beliau menemui Perdana Mentri Ali Rida untuk memintakan nama bagi tafsirnya. Maka dinamailah dengan Ruh al-Ma’ani Fi Tafsir Al-Qur`an al-Azim Wa As-Sab’ al-Masani.26
Dalam buku Tafsir bil Ra’yi dijelaskan alasan dinamakannya Ruh al-Ma’ani karena memuat pendapat para ilmuan salaf, baik secara riwayat maupun dirayah yang mencakup argumen-argumen para pakar ilmu pengetahuan, dan mengompilasikan ringkasan-ringkasan tafsir-tafsir terdahulu.27
b) Metode al-Alusi dalam Kitab Tafsir Ruh al-Ma’ani
23 Muhammad Husain Al–Dhahabi, al–Tafsir wa al-Mufassirun, 331.
24 Al-Alusi Abu al-Sana al-Din al-Sayyid Mahmud, Ruh al-Ma’ani Fi Tafsir AlQur`an al-Azim Wa Al-Sab’ al- Masani, (Beirut-Libanon: Idarah Tiba’ah Munirah, 1971) 3-4.
25 Muhammad Husain Al–Dhahabi, al–Tafsir wa al-Mufassirun, 252.
26 Saiful Amir Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur`an,127.
27 Anshori, Tafsir Bil Ra’yi, (Jakarta: Gaung Persada Pers, 2010), 139.
Metode yang dipakai oleh al-Alusi dalam menafsirkan Al-Qur`an adalah metode tahlili.28 Tahlili diartikan metode yang menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur`an dari seluruh aspeknya berdasarkan urutan ayat dalam Al-Qur`an, mulai dari mengemukakan arti kosa kata, munasabah (persesuaian_ antar ayat, antar surah, asbabun nuzul, dan lainnya.29
Salah satu yang menonjol dari metode ini adalah bahwa seorang mufassir akan berusaha menganalisis berbagai dimensi yang terdapat dalam ayat yang ditafsirkan. Maka biasanya mufassir akan menganalisis daris segi bahasa, asbabun nuzul, naskh mansukh, dan lain-lain. Namun biasanya metode tahlili tidak mampu menyajikan sebuah tafsir komprehensif, sehingga seringkali terkesan persial.30
Al-Alusi juga membahas tentang tafsir isyari setelah selesei menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan zahirnya sebuah ayat. Karena ini sebagian ulama memasukkan kitab tafsirnya ini bagian dari tafsir isyari, seperti halnya kitab tafsir yang dikarang oleh al- Naisaburi. Akan tetapi saya memasukkan keduanya sebagai tafsir bi al-Ra’yi karena melihat tujuan dari kedua tafsir tersebut bukan tafsir isyari, akan tetapi hal itu hanyalah sisiin saja.31
Jika dilihat dengan prespektif min bab at-Taglib meminjam istilah Adzahabi, maka anggapan tafsir al-Alusi sebagai tafsir yang bercorak sufi jelas terlalu berlebihan. Karena posisi sufistiknya relatif terlalu sedikit dibanding tafsirtafsir lain seperti tafsir al-Khozin atau al-Thabari. Oleh karenanya corak yang digunakan al-Alusi tersebut bisa dikatakan sebagai suatu keunikan tersendiri.Karena kitab tafsir tersebut sering dianggap oleh sebagian ulama sebagai kitab tafsir bernuansa sufistik.Namun ternyata tidak semua penafsirannya demikian. Bahkan jika tafsir yang bernuansa sufistik dianggap tidak ma’qul, atau bertentangan dengan kaidah kebahasaan, maka al-Alusi akan menolaknya.32
Dengan mengacu kepada komentar dan penilaian positif beberapa ulama terhadap Ruh al-Ma’ani, ternyata bahwa tafsir tersebut mempunyai corak tasawuf (isyari) dan dapat ditegaskan bahwa penafsiran-penafsiran isyarah yang termuat di dalamnya masih dalam batas-batas kewajaran, tidak dalam wujud tafsir Bathiniyyah.33
c) Corak Penafsiran al-Alusi
Corak tafsir atau juga disebut laun ialah nuansa atau warna khusus yang mewarnai suatu penafsiran. Seorang mufasir ketika ia menjelaskan isi kandungan alQur’an dengan
28 Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), 156.
29 Anshori, Tafsir Bil Ra’yi, 208.
30 Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, 75.
31 Muhammad Husein adz-Dzahabi, Tafsir al-Mufassirun, h. 256.
32 Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, 77.
33 Aharudin HS, “Corak Tafsir Ruh Al-Ma‟ani Karya Al-Alusi (Telaah Atas AyatAyat yang Ditafsirkan Secara Syarah”, Disertasi, PSQ, 2002, h. 294, (t.d)
kemampuan dan horizon pengetahuan sang mufassir, keanekaragaman corak penafsiran sejalan dengan keragaman disiplin ilmu pengetahuan yang menjadi dasar intelektual mufassir. Setiap mufassir yang memiliki bidang keahlian tertentu dan menafsirkan Al- Qur’anberdasarkan latar belakang keahlian dan ilmu-ilmu yang dimilikinya, kemudian muncullah corak tafsir yang bermacam-macam.34
Dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, al-Alusi sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus menggunakan satu corak tafsir yang spesifik, misalnya fiqh, lughawi, ‘ilmi, adabi ijtima’i, sufi, falsafi, atau yang lainnya. Namun secara garis besar corak yang banyak mengambil tempat adalah fiqh, lughawi, dan sufi.
d) Fana’ Dan Baqa’ Menurut Perspektif al-Alusi
Pada bagian ini penulis akan memaparkan tentang konsep fana’ dan baqa’ menurut al- Alusi yang kemudian memperlihatkan bahwa kecendrungan terhadap tafsir isyari tidak terlalu mencolok. Meskipun, seluruh konsep ajaran tasawuf dalam islam tetap akan memiliki basis filosofis yang kuat dengan tetap berpijak pada Al-Qur’andan Hadis. Sehingga untuk memahami konsep penafsiran ini, di butuhkan pendekatan intuisi dan spiritual yang tinggi dengan melewati fase-fase yang telah dirumuskan oleh para sufi. Pembahasan-pembahasan ini menjadi sangat penting agar pembahasan tersistematika dengan baik dan tidak keluar dari rumusan terdahulu yang telah ditentukan.
Secara etimologis, fana’ berasal dari bahasa Arab yang berarti hancur, musnah, lenyap, hilang, lebur, atau punah. Sementara baqa’ adalah lawan dari fana’ yang secara bahasa bersal dari kata baqaiya-yabqo-baqo’an, yang berarti terus ada, tidak hilang, tidak sirna, abadan.35
Dalam wacana tasawuf, fana’ biasanya diartikan sebagai suatu kondisi hilangnya segala sesuatu dalam diri manusia dan yang tersisa hanyalah perasaan dan ketergantungan dan keterkaitan dengan sesuatu selain Allah SWT.36
Al-Kalabazi mendefinisikannya sebagai berikut: “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan tidak dapat membedakan sesuatupun, bahkan dalam dirinya telah hilang berbagai kepentingan ketika berbuat sesuatu”.37
Al-Alusi ketika menafsirkan Al-Qur’anyang biasanya dijadikan dasar para sufi terkait konsep fana’ wal baqa’ ini adalah Al-Qur’ansurat al-Rahman (55): 26-27:
34 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), 72-73.
35 Harun Nasution/Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1999), 233.
36 Moh Azwar Haerul, Mengkaji Tafsir Sufi, 95.
37 Al-Kalabazi, al-Ta’aruf Li Mazhab Ahl al-Tasawwuf, (Maktabah Kulliyah al-Azhariyah, 1969), 147.
َعلَْي. َها فَا „ن
ُك ُّل َم ْن
Artinya:
َوي.َْب.َقى َو ْجهُ َربِّ¹ َك ذُو ا ْْلَََلِّل َواِّْْل ْكَراِّم
Semua yang ada di bumi itu akan binasa, dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Jika diperhatikan terhadap kandungan tekstualnya, ayat ini sesungguhnya menjelaskan tentang binasanya seluruh makhluk dibumi, para sufi biasanya memaknai kata “fan” sebagai landasan filosofis terhadap teori tentang hilangnya sifat-sifat kemanusiaan seseorang kecuali hanya zat Allah yang tetap kekal.38
Al-Alusi menafsirkan bahwa segala mahluk hidup, baik hewan dan tumbuhan akan musnah dan sesungguhnya yang kekal adalah zat-Nya. Menurut al-Alusi pemaknaan kata wajhu sebagai zat-Nya merupakan sebuah kiasan (kinayah), sementara kata baqa’ menurutnya bermakna segala perbuatan yang dikehendaki oleh Allah. Dalam artiyan, ayat ini dapat dipahami menunjukkan segala arah dan tujuan manusia adalah untuk selalu mengerjakan perbuatan baik agar dapat mendekatkan diri kepada-Nya.39
Pada makna isyari-nya, al-Alusi menjelaskan ayat tersebut tentang memfana’kan perbuatan-perbuatan tercela dan membaqa’kan perbuatan-perbuatan baik.40 Karna istilah fana’ oleh kaum sufi dipakai untuk menunjukkan keguguran sifat-sifat tercela, sedangkan baqa’ untuk menandakan ketampakan sifat-sifat terpuji. Barang siapa kosong (fana’) dari sifat-sifat tercela, maka sifat-sifat terpuji mengada. Barang siapa yang dirininya dikalahkan oleh sifat-sifat tercela, maka sifat-sifat terpuji tertutupinya.41
Kalimat “kullu man ‘aliha fan” menurut al-Alusi adalah “ma’dumun min jami’i al- wajhi” ditiadakannya semua bentuk sedangakan menurut tafsir Ibnu Ajibah segala sesuatu yang berada di atas “karpet permadani kerajaan (bisat al-mamlukah)” akan musnah. Kalimat “wa yabqa’ wajhurabbika” bahwa yang kekal adalah dzat-Nya yang maha suci (dhatuhu al- muqaddas) lebih jauh iya menafsirkan, bahwa dalam realitas, tak ada maujud lain bersama dzat-Nya yang maha suci. Dari sini Ibnu ‘Ajib hendak mengatakan bahwa hakikat dari segala
38 Ibrahim Muhammad Yasin, Dalalt al-Mustalah Fi al-Tasawwuf al-Falasafi, (Al-Qahirah: Dar al- Ma’arif, 1999), 64.
39 Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani: Fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azim Wa Sab’I al-Masani, (Beirut: Ihya Turas al- ‘Arabiy), 108-109.
40 Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani: Fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azim Wa Sab’I al-Masani,109.
41 Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah Fi ‘Ilm al-Tasawuf, (al-Qahirah: Dar al-Sha’b, 1987), 76.
sesuatu selain Allah adalah ketiadaan dan segala sesuatu selain Allah adalah manifestasinya.42
Berkaitan dengan ini juga al-Qusyairi menyatakan bahwa fana’nya seseorang dari dirinya dan dari mahluk lainnya terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan denga mahluk lain. Pada hakekatnya dirinya tetap ada begitu juga dengan mahluk lainnya juga tetap ada, akan tetapi iya tidak sadar lagi pada alam sekitarnya dan dalam dirinya sendiri. Sementara baqa’ diisyaratkan sebagai kejelasan sifat-sifat terpuji setelah mengalami fana’.43
Dalam Al-Qur’angambaran semacam ini pernah diperlihatkan Allah dalam kisah Nabi
Yunus ‘alihissalam.
فَ.لَ َّما َرأَيْ.ٰنهُ أَ ْكََْبنٰهُ َوقَطَْع َن أَيْ ِّدي.َ ُه َّن
Artinya : “Maka ketika wanita-wanita itu melihatnya (Nabi Yusuf) mereka mengucapkan takbir (takjub) dan (lalu) memotong tangan mereka (sendiri).”(QS.Yusuf:31).
Wanita-wanita bangsawan mesir ini ketika melihat ketampanan wajah yusuf ‘alaihissalam saat melintas di depan mereka, mereka terkejut, malu, segan, kagum, dan amat kesengsem, sehingga tidak terasa pisau yang dipegangnya memotong tangan mereka sendiri,
mereka adalah selemah-lemahnya manusia.44
ٌك َكِّرْيٌ
ٰه َذا إَِّّْل َملَ
َش ِّٰ¹لِلِّ َما ٰه َذا بَ َشًرا إِّ َّن
َحا
َوقُ.ْل َن
Artinya: “Dan mereka mengatakan, mahasempurna Allah, tidaklah ini manusia melainkan malaikat yang mulia.”(QS. Yusuf: 31).
Dalam penjelasan Ini merupakan gambaran mahluk yang lupa terhadap keberadaan (kondisi) dirinya ketika bertemu mahluk yang lain. Maka, bagaimana menurutmu jika seseorang tersingkap (mukasyafah) dari tabir yang menutupi al-Haq. Jika mahluk saja bias lupa akan keberadaan rasa terhadap dirinya dan sesama mahluknya, maka apa tidak akan lebih menakjubkan (lupa, tak sadar, dan lalai) jika yang ditemuinya adalah al-Haq.45
Barang siapa yang fana’ dari kebodohannya, maka dia baqa’ dengan ilmunya, barang siapa yang fana’ dari syahwatnya, maka dia akan baqa’ dengan tobatnya, barang siapa yang fana’ dari kesenangan dunia, maka dia akan baqa’ dengan zuhudnya, barang siapa yang fana’ dengan angan-anagannya, maka dia akan baqa’ dengan kehendaknya.46
42 Ibnu ‘Ajibah, al-Bahrul al-Madid Fi Tafsir al-Qur’anul Majid, 272.
43 Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah Fi ‘Ilm al-Tasawuf, 77. 44 Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah Fi ‘Ilm al-Tasawuf, 78. 45 Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah Fi ‘Ilm al-Tasawuf, 78. 46 Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah Fi ‘Ilm al-Tasawuf, 79.
Demikan konsep fana’ dan baqa’ yang pemakalah bisa rangkum dari tafsir al-Alusi dan referensi yang lain.
3. Komentar Para Ulama Terhadap Tafsir Ruh al-Ma’ani
Tafsir Ruh al-Ma’ani dinilai oleh sebagian ulama sebagai tafsir yang bercorak isyari (tafsir yang mencoba menguak dimensi makna batin berdasarkan isyarat atau ilham dan ta’wil sufi) sebagaimana tafsir al-Naisaburi.
Muhammad Ali al-Sabuni berkomentar bahwa penafsiran al-Alusi bercorak sufistik. Bahkan tidak hanya menggunakan pendekatan sufistik saja, melainan juga asfek balagah dan bayan yang sangat diperhatikan. Bahkan penafsiran al-Alusi merupakan karya yang paling baik untuk dijadikan sumber kajian tafsir dikalangan para sufistik, baik dari segi tafsir bi al- riwayah, bi al-dirayah dan bi al-isyarah.47
Namun anggapan ini dibantah oleh al-Dzahabi dengan menyatakan bahwa tafsir Ruh al-Ma’ani bukan untuk tujuan tafsir isyari, maka tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir isyari. Al-Dzahabi memasukkan tafsir al-Alusi ke dalam tafsir bi al-ra’yi al-mahmud (tafsir berdasar ijtihad yang terpuji).48
Beberapa ulama sependapat dengan al-Dzahabi, seperti Abu Syuhbah, sebab memang maksud utama dari penulisan tafsir bukan untuk menafsirkan Al-Qur’anberdasarkan isyarat- isyarat, melainkan menafsirkan Al-Qur’anberdasarkan apa yang dimaksud oleh lahirnya ayat dengan tanpa mengabaikan riwayat yang shahih.49 Meskipun tidak dapat diingkari, bahwa beliau juga memberikan penafsiran secara isyari, tetapi porsinya relatif lebih sedikit dibanding yang bukan isyari. Menentukan corak suatu tafsir mesti berdasarkan kecenderungan yang paling menonjol dari sekian kecenderungan menurut pemakalah tafsir al-Alusi lebih cocok disebut sebagai ensiklopedia.50
D. KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan tentang Penafsiran isyari yang dilakukan oleh al-Alusi dalam tafsir Ruh al-Ma’ani terhadap ayat-ayat tentang konsep fana’ dan baqa’ yang menunjukkan kecendrungan mengungkap makan batin Al-Qur’andengan pendekatan intuisi. Fana’nya seseorang dari dirinya dan dari mahluk lainnya terjadi dengan hilangnya kesadaran
47 Muhammad Ali al-Sabuni, al-Tibyan Fi Ulum al-Qur’an (Damaskus: Maktabah Gazali, 1970), 199.
48 Muhammad Husein adz-Dzahabi, Tafsir al-Mufassirun, 250.
49 Rusydiah: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 1, No. 2, Juni-Desember 2020, 123.
50 Sebuah karya referensi atu ringkasan dan kesimpulan yang memuat rangkuman dari berbagai kitab rujukan dan komentar darai berbagai para ulama. Al-Alusi memuat dalam kitab tafsir al-Qur’an Ruh al-Ma’ani pendapat-pendapat ulama-ulama tafsir dan mengomentarinya lalu memilih pendapat yang paling kuat dari pendapat-pendapat itu.
tentang dirinya dan denga mahluk lain. Pada hakekatnya dirinya tetap ada begitu juga dengan mahluk lainnya juga tetap ada, akan tetapi iya tidak sadar lagi pada alam sekitarnya dan dalam dirinya sendiri. Sementara baqa’ diisyaratkan sebagai kejelasan sifat-sifat terpuji setelah mengalami fana’ Dalam konteks beragama kata toleransi atau tasammuh berarti membiarkan, mengizinkan, dan menghargai orang lain untuk memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda dengan kita dan tidak memaksakan satu kepercayaan saja.
Barang siapa yang fana’ dari kebodohannya, maka dia baqa’ dengan ilmunya, barang siapa yang fana’ dari syahwatnya, maka dia akan baqa’ dengan tobatnya, barang siapa yang fana’ dari kesenangan dunia, maka dia akan baqa’ dengan zuhudnya, barang siapa yang fana’ dengan angan-anagannya, maka dia akan baqa’ dengan kehendaknya.
E. DAFTAR PUSTAKA
Al-Alusi, Tafsir Ruh al-Ma’ani Fi Tafsir Al-Qur’anWa al-Sab’I al-Mathani, (Beirut: Dar Al- Kutub Al-Ilmiah, 2001).
Ajibah, Ibnu, Tafsir al-Bahr al-Madid Fi Tafsir Al-Qur’anal-Majid, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 2005).
Sihab, Muhammad Qurais, Membumikan Al-Qur’anFungsi Dan Peran Wahyu Dalam al- Qur’an, (Bandung: Mizan, 2006).
Al-Qattan, Manna, Mabahits Fi Ulumi al-Qur’an, (Mantsuratul Hadits, 1990)
Al-Dhahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir Wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadits, 2007). Al-Sabuni, Muhammad Ali, al-Tibyan Fi Ulumi Al-Qur’an(Damaskus: Maktabah Gazali,
1970).
Al-Kalabazi, al-Ta’aruf Li Mazhab al-Tasawuf, (Kairo: Maktabah Kulliyah al-Azhariayah, 1969).
Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontenporer, (Yogyakarta: Lkis, 2011).
Haerul, Azwar, Mengkaji Tafsir Sufi Karya Ibn Ajibah (Tanggerang: Young Progressive Muslim, 2017).
Syibromalisi, Faizah Ali, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Moderen, (UIN Ciputat: Tanggerang, 2011).
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya (Jakarata : PT Bumi Aksara, 2013.
Aharudin, Corak Tafsir Ruh Al-Ma‟ani Karya al-Alusi Telaah Atas AyatAyat yang Ditafsirkan Secara Syarah”,( Disertasi, PSQ, 2002).
Ghofur, Saiful Amir, Profil Para Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008).
Nasution, Harun, Ensklopedia Islam Indonesia / disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, (Jakarta: Djambatan, 1992).
Ilyas, Hamim, Studi Kitab Tafsir, (Yoyakarta: Teras, 2004).
Rusydiah: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 1, No. 2, Juni-Desember 2020.
Posting Komentar untuk "FANA’ DAN BAQA’ MENURUT PERSPEKTIF Al-ALUSI"